Indonesia Maps

The islands of Indonesia, also known as the Indonesian archipelago and formerly known as the Indian archipelago

Pancasila

Pancasila is the official philosophical foundation of the Indonesian state.

Merah Putih

The official name of Indonesian flag is Sang Merah-Putih (The Red-and-White) according to Article 35 of the 1945 Constitution.

Indonesian Culture

Indonesia is culturally rich.

Freedom of religion in Indonesia

The government generally respects religious freedom for the six officially recognized religions: Islam, Catholicism, Protestantism, Buddhism, Hinduism, and Confucianism.

Senin, 19 Desember 2016

Pluralisme dan Kebhinekaan




Kemajemukan dan kebhinekaan merupakan suatu kata dimana kita sering menjumpainya akhir ini atau lebih tepatnya pada masa reformasi merupakan suatu sumber informasi dan kebebasan menyatakan suatu pendapat yang pelaksanaannya tertuang dalam UUD 1945 Pasal 28 E ayat 3 yang berarti setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.

Kemajemukan dan semangat kebhinekaan bangsa sebenarnya telah ada didalam jati diri kita tanpa kita sadari.Sebenarnya dalam kehidupan sehari-hari dengan segala perbedaan yang hidup di masyarakat yang sangat majemuk yang terdiri dari berbagai macam suku dan agama serta adat istiadat yang berbeda.

Dengan kejadian yang terjadi akhir ini kita cukup khawatir dengan adanya suatu oknum yang menggunakan label agama sebagai teror yang mengguncang di segala lini, belum lagi ulah suatu kelompok separatis yang ingin memisahkan diri dari NKRI kita yang tercinta, hal yang demikian merupakan suatu pertanda jika melihat dasar pembentukan negara kita dari konsep keragaman dan kebhinekaan yang telah dirumuskan oleh masing masing founding fathers kita.Seharusnya kita menyadari dengan latar belakang masing-masing pendiri bangsa yang berasal dari berbagai suku, agama, maupun sistem politik yang dianut namun mereka tetap mampu mengatasi segala perbedaan yang sangat mendasar dan mendirikan sebuah negara dengan bentuk negara kesatuan bukanlah sebuah bentuk negara federal atau negara bagian meskipun kita terdiri dari berbagai suku, agama, ras, golongan dan bentuk negara kita yang berbentuk kepulauan dengan berbagai keragaman adat istiadat yang berbeda-beda di masing-masing daerah.

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Istilah Pluralisme mengandung arti keadaan masyarakat yang majemuk (bersangkutan dengan sistem sosial dan politiknya);- kebudayaan berbagai kebudayaan yang berbeda-beda dalam suatu masyarakat.Kebhinekaan adalah berasal dari kata bi-ne-ka /bineka/ yang artinya beragam atau beranekaragam sedangkan arti dari ke- bhi-ne-ka-an adalah keberagaman.

Namun dalam penerapannya pengertian pluralisme dan kebhinekaan menjadi suatu hal yang multitafsir maupun interpretasi setiap dari masing-masing individu di negara ini dan jika ditanyakan satu persatu mungkin akan berbeda-beda sesuai dengan pemikirannya masing-masing.

Pluralisme dan semangat kebhinekaan bangsa sebenarnya telah lama hidup di dalam jati diri bangsa. Apabila kita melihat ke belakang dan melihat sejarah berdirinya bangsa kita, kita tentunya tidak lupa dengan peristiwa Sumpah Pemuda Tahun 1928 dimana pada saat itu pemuda dan pemudi yang dipelopori oleh Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI) dari seluruh wilayah Indonesia berkumpul dan mengatasi segala perbedaan pemikiran dan keberagaman budaya untuk kemudian bersepakat dan merumuskan 3 butir kesepakatan luhur yang tertuang di dalam Sumpah Pemuda.

Hal tersebut yang melandasi dalam proses mendirikan sebuah negara Republik Indonesia, dimana para founding fathers mampu merumuskan sebuah dasar negara yaitu Pancasila dimana proses berdirinya Pancasila juga penuh dengan semangat kebhinekaan bangsa agar dapat mempersatukan bangsa yang majemuk.

Hal inilah yang harus dimunculkan kembali oleh para pemimpin negara khususnya generasi muda yang ada saat ini yaitu sebuah semangat kebhinekaan dan pluralisme yang telah lama ada dan diperjuangkan oleh para pendiri bangsa. Konflik yang terjadi di berbagai daerah seperti  pembagian kekayaan daerah di Aceh dan Papua, konflik berbau SARA di Ambon, Poso, Sampit dan Sambas serta adanya aksi teror dari berbagai kelompok militan dalam bentuk aksi pengeboman telah memberi banyak pelajaran terhadap Bangsa kita agar mampu melangkah ke depan dan saling menghormati terhadap segala perbedaan yang ada agar negara kita mampu menjadi negara besar yang disegani oleh bangsa lain di dunia bukan karena memiliki power yang kuat seperti negara Adidaya melainkan karena keberagaman budaya, adat istiadat, dan sikap toleransi antar umat beragama yang hidup di negeri ini.

Sumber :

https://pcimlibya.wordpress.com/2009/10/31/peranan-pemuda-indonesia-dalam-pergerakan-kemerdekaan/

Ditulis oleh :

Nama : Andika Isranugraha
NIM : 155150207111130
Kelas : Pancasila - O

Bela Negara & Penerapan Ideologi Pancasila Demi Terwujudnya Ketahanan & Pertahanan Nasional


Reformasi yang terjadi pada 1998 membawa kehidupan politik, sosial, budaya, hukum dan ekonomi di Indonesia pada perubahan besar. Dalam perjalanannya, reformasi yang terjadi di Indonesia memiliki keterkaitan dengan perubahan global. Berdasarkan konsep kedaulatan negara, maka pertanyaan besarnya adalah apakah pengaruh globalisasi itu menjadi ancaman atau peluang? Jawabannya adalah tergantung pada pandangan aspek implikasinya terhadap kehidupan politik di Indonesia. Misalnya dalam kaitan dengan masalah demokrasi dan HAM.
Jika dikaitkan dengan demokrasi, maka tidak ada model demokrasi yang cocok dan berlaku di semua negara. Sejarah menunjukkan bahwa debat tentang demokrasi itu sendiri telah berlangsung sejak lama sekali, berusia hampir 250 tahun. Oleh sebab itu, berbicara tentang demokrasi, maka jangan terburu-buru dan meyakini untuk mengambil demokrasi negara A, negara B atau negara C. Dalam hal ini, yang paling penting untuk dipahami adalah justru nilai dan hakikat demokrasi.
Demokrasi adalah untuk kebaikan bersama. Rakyat diajak serta dalam mengelola kehidupan, menentukan aturan main, dan mengikuti etika yang berlaku. Oleh sebab itu, demokrasi yang sedang berproses harus dijalankan dengan pikiran yang tenang dan jernih. Dalam konteks negara kebangsaan Indonesia ke depan, sebenarnya yang paling penting adalah memperluas ruang penerapan demokrasi dan HAM. Prioritas ini juga sekaligus bisa menjadi koreksi atas apa yang pernah terjadi di masa lalu, dimana ruang yang tersedia untuk penerapan dan perkembangan demokrasi dan HAM terlalu sempit. Secara bijaksana dan pikiran yang jernih kita bisa memahami bahwa hal-hal demikian tidak bisa dihindari karena adanya tuntutan kebutuhan di zamannya. Realitas pada saat sebelum reformasi, lebih menuntut pengutamaan stabilitas nasional untuk mendorong pembangunan ekonomi ketimbang hal lainnya.
Namun, kenyataan seperti itu sebagian membawa berbagai dampak yang menyulitkan bagi perjalanan kehidupan negara kebangsaan. Sehingga atas dasar kenyataan itu diperlukan koreksi, yang pada gilirannya mendorong tumbuhnya era baru, era transisi dan zaman reformasi. Oleh karena itu, tidak keliru kalau dalam era reformasi ini kita perlebar ruang demokrasi dan HAM. Walaupun demikian, tentu saja jangan sampai HAM diletakkan secara absolut. Seolah-olah atas nama HAM, kita bisa melakukan apa saja.
Konsepsi HAM seperti dalam UUD 1945, termasuk yang sudah diamandemen empat kali, perlu dipahami secara bijaksana. Di situ ada 10 butir HAM. Satu sampai Sembilan mengatur hak. Tetapi, butir ke 10 berisi pembatasan, rambu-rambu yang menjelaskan HAM tidak boleh absolut. Ini terutama ketika menyinggung nilai-nilai keagamaan, kesusilaan, ketertiban dan keamanan masyarakat. Jadi soal HAM ada pembatasannya, ada tanggung jawabnya. HAM dalam konteks ini harus dipahami secara baik dan proporsional.
Reformasi yang terjadi pada 1998 di Indonesia tidak lepas dari isu HAM yang terjadi di kancah global. Pada tahun 1997, lahir sebuah deklarasi yang disebut The Universal Declaration of Human Responsibilities. Sebelumnya kita telah mengetahui, PBB memiliki deklarasi internasional tentang HAM yang disebut The Universal Declaration of Human Right. Tetapi, mengapa pada tahun 1997 muncul deklarasi tersebut yang mengarah pada upaya menegakkan tanggung jawab kemanusiaan. Tidak bisa diingkari, karena dunia pun sesungguhnya semakin gelisah melihat kenyataan kesenjangan yang semakin lebar. Kesenjangan itu muncul karena negara-negara yang belum maju dan tengah berkembang, kalah, kemudian menjadi loosers dan bukan winners dalam konteks globalisasi. Dalam konteks demikian, maka kita sebagai rakyat Indonesia harus pandai-pandai melihat globalisasi secara kritis.
Demokrasi yang dibawa dalam rezim Reformasi ini menggusur nilai-nilai demokrasi yang dianut oleh rezim Orde Baru. Orde Baru mengajarkan demokrasi Pancasila sebagai ideologi negara. Dalam kehidupan berbangsa dan negara, doktrin Pancasila ini masuk dalam kehidupan masyarakat. Bahkan, agar Pancasila dilaksanakan dalam kehidupan manusia pribadi Pancasila, yang merupakan kategori tematis, maka ajarannya harus diimplementasikan menjadi kategori operatif. Kategori operatif adalah prinsip atau norma asasi yang meskipun tidak disadari atau tidak dimengerti, bahkan dimungkiri, menjadi dasar praktik individu dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.
Mengenai Pancasila sebagai ideologi harus dipahami secara definitif. Ideologi dari kata yang sudah jelas maknanya, yakni pikiran, gagasan dan wawasan. Sedangkan logos berarti ilmu, yang jika digabung maka definisi ideologi adalah ilmu yang berbicara tentang pikiran, gagasan dan wawasan. Namun, ideologi biasanya diberi arti realitas sebagai keseluruhan ide yang secara normatif memberi persepsi, landasan, serta pedoman tingkah laku bagi seseorang atau masyarakat dalam seluruh kehidupannya dan dalam mencapai tujuan yang dicita-citakan. Sebagai ideologi negara, Pancasila cakupannya lebih luas daripada sebagai dasar filsafat negara. Dalam praktik kehidupan negara, Pancasila sebagai ideologi negara tidak hanya berbentuk hukum tetapi juga berbentuk norma-norma lain yang harus dijadikan pedoman bagi warga negara yang Pancasilais.
Dalam memberi dasar pemikiran pelaksanaan Pancasila formal yang merupakan pengertian umum abstrak atau umum universal, Notonegoro juga mengemukakan transformasi pengertian yang umum abstrak ke dalam bentuk dan isi pengertian yang umum kolektif dan pengertian yang khusus konkret. Notonegoro menyebut kedua bentuk transformasi itu dengan istilah subyektivikasi obyektif dan subyektivikasi subyektif. Subyektivikasi artinya pengalihan hubungan kesesuaian menjadi rumusan kelayakan atau moral. Hubungan kesesuaian adalah hubungan negara RI sebagai pendukung hubungan dan Tuhan, manusia, satu, rakyat dan adil sebagai pangkal atau ukuran hubungan.
Notonegoro berpendapat rumus subyektivikasi obyektif (pedoman bagi moral negara) adalah :
1. Sila pertama: Hakikat Negara adalah untuk memiliki sifat-sifat dan keadaan-keadaan berperi-Ketuhanan Yang Maha Esa.
2. Sila kedua: Hakikat Negara adalah untuk memiliki sifat-sifat dan keadaan-keadaan berperikemanusiaan yang berperikeadilan dan berperikeadaban.
3. Sila ketiga: Hakikat Negara adalah untuk memiliki sifat-sifat dan keadaan-keadaan berperi-Kesatuan dengan inti peri-kebangsaan.
4. Sila keempat: Hakikat Negara adalah untuk memiliki sifat-sifat dan keadaan-keadaan berperikerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
5. Sila kelima: Hakikat Negara adalah untuk memiliki sifat-sifat dan keadaan-keadaan berperikeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Nilai-nilai yang terangkum dalam ideologi Pancasila ini kemudian terkikis dalam perkembangan zaman. Ideologi Pancasila yang didefinisikan Notonegoro menjadi hilang dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita secara perlahan dalam keseharian warga negara. Hal ini tidak lepas dari banyak ideologi selain Pancasila yang hadir di era reformasi. Padahal nilai-nilai Pancasila sudah mengakar dalam sejarah kehidupan Indonesia. Ideologi Pancasila menjadi nilai-nilai hidup bangsa Indonesia dalam bidang ketuhanan, budaya, politik dan sosial ekonomi yang mewarnai kehidupan bangsa Indonesia sejak zaman kuno dalam kelompok-kelompok kerajaan telah mengalami transformasi yang semakin lama semakin terintegrasi dalam kehidupan bangsa. Kehidupan bangsa itu secara lambat laun diidentifikasi oleh tokoh-tokoh masyarakat sehingga menjadi kesadaran efektif yang menggerakkan mereka keluar dari himpitan-himpitan yang tidak wajar dari sistem penjajahan yang semakin lama semakin efektif.
Akhirnya muncul kelompok masyarakat Indonesia yang mampu menangkap nilai-nilai tersebut dengan konsep ilmiah dan kemudian mengidealisasikan menjadi Pancasila formal yang mencantumkan dalam dasar negara yang dibentuknya menjadi:
1. Ketuhanan yang Maha Esa
2. Kemanusiaan yang Adil & Beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan
5. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Di era Reformasi saat ini, kehidupan bangsa dan negara kita kehilangan arah pembangunan nasional. Menjadi ironi karena pada hakikatnya pembangunan nasional kita berlandaskan pada lima landasan:
1. Pancasila sebagai landasan idiil
2. UUD 1945 sebagai landasan konstitusional
3. Wawasan Nusantara sebagai landasan visional
4. Ketahanan Nasional sebagai landasan konsepsional
5. Undang-undang sebagai landasan operasional.
Lima landasan tersebut telah mengkristal dan menjadi komitmen bangsa sebagai paradigma pembangunan nasional. Keseluruhan landasan ini merupakan satu kesatuan yang utuh dan tidak terpisahkan satu sama lain, serta mengisi landasan berpikir visi dan misi dalam pembangunan nasional. Tujuan dari penerapan lima landasan tersebut adalah lahirnya Indonesia yang berdaulat.
Makna kedaulatan Indonesia adalah bangsa dan negara yang memiliki pemerintahan, wilayah dan penduduk yang berdaulat secara mendasar, utuh dan menyeluruh yaitu yang bebas dan merdeka menentukan nasibnya sendiri, pilihan-pilihan atas cara demokrasi, mencari jawaban atas persoalan keragaman, bekerja dan membangun untuk mencapai kemakmurannya, mengelola dan memanfaatkan seluruh sumber daya yang dimiliki untuk kepentingan nasional yang setinggi-tingginya dan menyumbang serta berkontribusi bagi ketertiban dan keamanan dunia. Tanpa kehilangan atau berkurang kedaulatan dan kemakmuran nasionalnya sendiri. Kedaulatan, keadilan dan kemakmuran merupakan tiga unsur yang harus selalu ada bersamaan dalam satu kesatuan untuk dapat saling menguatkan dan saling mengisi satu sama lain.
Indonesia yang berdaulat, adil dan makmur tidak akan mampu dicapai apabila pembangunan nasional tidak bisa menjamin tercapainya pemerintahan yang berdaulat, kaya dan kuat serta efektif yang didukung penuh juga oleh penduduk yang cerdas, sehat dan kaya dan maju dalam wilayah kesatuan Republik Indonesia yang juga berdaulat, bersatu dan terlindungi. Ketiga unsur pemerintah, penduduk dan wilayah ini harus ditumbuhkembangkan secara utuh, menyeluruh dan konsisten. Pengalaman dan bukti dari negara-negara maju dan negara-negara kaya membuktikan premis dan paradigm di atas. Sehingga untuk dapat memosisikan dan menentukan posisi, prestasi, atau pencapaian kemajuan bangsa kita secara lebih shahih, maka kita harus mengukur diri dengan pembelajaran atas keberhasilan dan pencapaian dari negara lain.
Kedaulatan negara ini erat kaitannya dengan ideologi dan ketahanan nasional. Negara yang berdaulat akan mampu menjalankan pembangunan nasional yang berjalan atas kebijakan-kebijakan pembangunan pemerintah (development policies) yang tentunya efektif agar tujuan, target dan sasaran pembangunan dapat dicapai dengan efisien. Kebijakan dalam hal ini adalah rangkaian aturan atau norma atau batasan yang ditetapkan pemerintah untuk kepentingan publik dan dalam rangka menjalankan tugas serta amanat yang diterima oleh pemerintah. Kebijakan dalam hal ini tidak berhubungan langsung dengan aspek-aspek yang teknis operasional (seperti kebijakan makroekonomi moneter dan fiskal) tetapi lebih fokus pada aspek normatif dan aturan umum. Kebijakan dasar pembangunan dalam platform ini dimaksudkan sebagai rangkaian aturan, norma atau batasan mendasar dan strategis yang perlu dirumuskan dan ditetapkan oleh pemerintah, tidak perlu detail dan atau tidak bersifat sektoral atau bidang pembangunan. Tetapi yang mendasar, strategis dan mendesak untuk diimplementasikan di seluruh aspek atau bidang atau sektor pembangunan nasional.
Ketahanan nasional yang berlandaskan ideologi Pancasila ini dapat diterjemahkan dalam visi dan misi pembangunan nasional. Visi dan misi tersebut dirumuskan ke dalam satu strategi pembangunan yang disebut dengan strategi pembangunan dorongan besar (big push development strategy). Strategi pembangunan dorongan besar ini dimaksudkan sebagai rangkaian strategi yang disusun dan diimplementasikan untuk menciptakan dorongan yang relatif besar bagi perekonomian nasional untuk mampu secara efektif tumbuh, maju bahkan terdepan (advancing) dari posisi atau pencapaian saat ini.
Strategi dorongan besar ini dikembangkan dan diimplementasikan melalui rangkaian strategi yang terdiri dari empat strategi turunan yang bersifat terpadu dan sinergis, yakni:
1. Strategi Pokok
2. Strategi Utama
3. Strategi Pendukung
4. Strategi Implementasi
Strategi pokoknya adalah membangun landasan yang kokoh. Sementara strategi utamanya adalah membangun sumber pertumbuhan berkualitas. Strategi pendukungnya adalah membangun lingkungan yang memampukan. Sementara strategi implementasinya adalah menerapkan tata kelola yang baik.
Keseluruhan strategi ini terpadu, strategis, dan saling menguatkan dalam suatu kerangka atau struktur berlian (diamond structure). Masing-masing strategi mulai dari strategi dorongan besar, strategi pokok, strategi utama, strategi pendukung dan strategi implementasi secara berurutan diterjemahkan secara lebih detail dan teknis ke dalam strategi di bawahnya.
Strategi pokok membangun landasan yang kokoh dirumuskan menjadi lima strategi:
1. Menjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang aman, damai dan stabil
2. Mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi, berkesinambungan dan berkeadilan
3. Menciptakan lapangan pekerjaan dan lapangan usaha berkualitas
4. Memberantas kemiskinan, kelaparan dan kebodohan
5. Menciptakan lingkungan hidup yang sehat, bersih, lestari dan berkualitas.
Lalu strategi utama yang akan diimplementasikan dirumuskan dalam delapan strategi utama:
1. Membangun kedaulatan pangan
2. Mewujudkan kembali kedaulatan energi nasional
3. Mengembangkan industri nasional yang unggul dan bernilai tambah tinggi
4. Memberdayakan BUMN sebagai motor dan agen penggerak pembangunan
5. Membangun ekonomi kerakyatan berdasarkan UUD 1945, terutama pasal 33
6. Akselerasi pembangunan pedesaan
7. Percepatan pembangunan infrastruktur
8. Membangun kembali kedaulatan pengelolaan sumber daya alam nasional
Agar strategi dorongan besar, strategi pokok dan strategi utama di atas dapat diimplementasikan dengan efektif, maka diperlukan strategi pendukung, yakni:
1. Kebijakan makroekonomi yang bersahabat dan berpihak
2. Pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi
3. Sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas
4. Pengendalian pertumbuhan penduduk dan pemerataan distribusi dan kualitas hidup masyarakat.
Untuk mewujudkan semua strategi di atas maka upaya yang harus dilakukan adalah menjunjung tinggi dan melaksanakan konstitusi bagi setiap warga negara. Penegakan hukum yang berkeadilan tanpa memandang strata sosial menjadi syarat utama tegaknya negara yang kuat dan terhormat. Oleh karena itu, semua rakyat Indonesia harus menjalankan kewajiban tersebut serta menaati peraturan perundangan yang berlaku.
Konstitusi telah menjamin kehidupan keberagaman warga negara secara bebas dan aktif. Keberagaman ini menyangkut suku, agama dan ras yang memang majemuk sesuai dengan karakteristik kehidupan bangsa dan negara Indonesia. Sesuai dengan sila pertama Pancasila tentang Ketuhanan Yang Maha Esa, maka konstitusi menjamin kemerdekaan setiap penduduk untuk memeluk agama dan beribadah menurut agama yang dianut. Institusi agama yang melarang terlebih melakukan kekerasan terhadap umat beragama lain yang sedang beribadah, dapat dianggap melecehkan konstitusi. Sebab, larangan beribadah apalagi yang berujung kekerasan jelas melanggar konstitusi. Pihak-pihak yang terbukti melakukannya harus bertanggung jawab secara hukum.
Penegakan hukum atas nama konstitusi ini menjadi penting agar di kemudian hari tidak ada yang diistimewakan di depan hukum. Agama dan moralitas memiliki peranan penting dalam ideologi pancasila dan ketahanan nasional. Keduanya menjadi benteng individu yang memiliki niat untuk melakukan tindakan penyelewengan jabatan dan kekuasaan. Dengan adanya benteng tersebut menjadi cerminan bagi lahirnya kelompok yang menentang otoritarianisme dan absolutisme kekuasaan.
Kondisi ini tidak lepas dari perubahan rezim dari otoritarianisme menjadi rezim demokratis yang mengusung keterbukaan dan transparansi. Berbagai ideologi (khususnya terkait agama) lahir atas nama kebebasan di rezim reformasi saat ini. Sebuah gelombang demokratisasi, dalam pengertian yang diberikan oleh Huntington adalah sekelompok transisi dari rezim nondemokratis ke rezim demokratis, yang terjadi di dalam kurun waktu tertentu dan jumlahnya secara signifikan lebih banyak daripada transisi menuju arah sebaliknya. Sebuah gelombang biasanya juga mencakup liberalisasi atau demokratisasi sebagian pada sistem-sistem politik yang tidak sepenuhnya menjadi demokratis.
Demokratisasi yang terjadi di Indonesia sebagai bagian dari arus besar gelombang ketiga di negara-negara dunia ketiga dan negara bekas komunis. Dalam hal gelombang demokratisasi, Huntington membagi proses peradaban manusia modern menjadi tiga gelombang. Masing-masing gelombang tersebut telah memengaruhi sejumlah negeri, dan selama masing-masing gelombang itu beberapa transisi rezim terjadi ke arah yang tidak demokratis.
Namun dalam melakukan pembagian gelombang demokratisasi tersebut, Huntington memberikan catatan bahwa sejarah bukanlah sesuatu yang teratur dan perubahan politik tidak dapat dipilah-pilah agar tepat masuk ke dalam kotak sejarah yang rapi. Menspesifikasikan secara ketat kapan sebuah transisi rezim sering terjadi merupakan upaya yang subyektif. Sebagaimana juga subyektivitas pada upaya menspesifikasi secara tepat waktu terjadinya gelombang demokratisasi dan gelombang baliknya.
Upaya pencarian tata kelola kekuasaan yang dapat membendung kelaliman pemegang kekuasaan, sejalan dengan mulai tumbuhnya nilai-nilai kehidupan yang lebih menghargai hak-hak individu, kesetaraan, serta pengakuan terhadap HAM. Pada dasarnya, perkembangan peradaban manusia yang telah memungkinkan umat manusia menjinakkan kekuasaan yang mempunyai daya pesona luar biasa, sekaligus juga watak yang cenderung merusak tatanan kehidupan manusia. Pesona kekuasaan yang menakjubkan itu yang membuat para pemburu kekuasaan seringkali cenderung menghalalkan segala cara untuk mendapatkan tujuannya.
Dalam tatanan demokrasi, daya rusak kekuasaan tidak dapat ditaklukkan secara absolut, karena hal itu juga berkaitan erat dengan salah satu sifat manusia yang serakah dan lemah menghadapi godaan kenikmatan. Namun, karena sifat luhur manusia pula kekuasaan dapat digunakan untuk kemaslahatan umat manusia, terutama untuk mengelola kehidupan bersama menuju kesejahteraan lahir dan batin.
Masyarakat disebut memiliki tertib yang demokratis jika interaksi seluruh anggota dalam masyarakat selalu berorientasi kepada semakin meningkatnya martabat dan harkat manusia. Hal ini sejalan dengan naluri manusia yang selalu mendambakan persamaan, kebebasan, dan kemerdekaan dari segala bentuk penindasan. Dengan demikian, hubungan antara anggota masyarakat dilandasi oleh semangat kesetaraan dan kebersamaan, tanpa perbedaan status ekonomi-sosial, asal usul, ikatan primordial, serta ciri-ciri ekskusif lainnya. Semua itu harus disertai perangkat hukum yang dapat menjamin tegaknya hukum dan rasa keadilan publik.
Dalam negara dan masyarakat yang demokratis, negara (state) vis a vis masyarakat harus dapat diwujudkan keseimbangan yang saling mengawasi. Dengan demikian, demokrasi bukan hanya bangunan struktural kekuasaan dengan masing-masing lembaga politik saling mengontrol. Demokrasi adalah pandangan (tata nilai) yang menjadi pedoman sikap dan perilaku warganya, karena itu dia harus menjadi referensi bagi perilaku politik warga masyarakat.
Dalam perjalanan bangsa dan negara, Pancasila memberikan makna tersendiri tentang demokrasi. Kelima sila Pancasila mengandung butir-butir yang merupakan kristalisasi nilai-nilai luhur bangsa. Kristalisasi nilai-nilai luhur yang dimiliki oleh seluruh lapisan serta unsur-unsur bangsa Indonesia secara komprehensif yang telah diyakini kebenarannya. Dan kemudian, diangkat oleh bangsa Indonesia sebaga falsafah, ideologi nasional dan dasar negara Indonesia.
Segala bentuk visi, misi, strategi, kebijakan dan program dalam upaya mencapai cita-cita bangsa dan negara dalam mencari solusi terhadap permasalahan serta tantangan bangsa ke depan, hendaknya tetap berlandaskan kepada Pancasila. Dalam pengertian tersebut, seluruh sila dan butir yang terkandung dalam Pancasila merupakan landasan yang dijadikan referensi di dalam perumusan dan pengembangan visi, misi, strategi dan kebijakan serta program pembangunan nasional. Di sini, makna ketahanan nasional memiliki keterkaitan dengan Pancasilan yang menjadi visi, misi, strategi serta program pembangunan nasional. Sila-sila Pancasila sekaligus menjadi tujuan dan sasaran dasar setiap upaya pembangunan nasional.
Lebih khusus, dalam konteks membangun ketahanan pangan dan energy alternatif, maka berdasarkan semangat sila kelima yang mengamanatkan kesejahteraan sosial dan keadilan ekonomi nasional, harus diupayakan pemanfaatan segala potensi dan modal bangsa yang dimiliki dalam rangka menciptakan kemakmuran bangsa dan mensejahterakan kehidupan rakyat banyak. Keadilan dan kemakmuran harus menjadi matra utama dan landasan utama setiap upaya pembangunan nasional di masa mendatang.
Sementara, ketahanan nasional Indonesia adalah kondisi dinamika bangsa Indonesia yang meliputi segenap aspek kehidupan nasional yang terintegrasi, berisi keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional dalam menghadapi dan mengatasi segala tantangan, ancaman, hambatan serta gangguan (TAHG) dari luar maupun dari dalam. Ketahanan nasional mutlak dijaga untuk menjamin identitas, integritas, kelangsungan hidup bangsa dan negara, serta perjuangan mencapai tujuan nasional.
Konsepsi ketahanan nasional merupakan suatu ajaran yang diharapkan dapat diyakini kebenarannya oleh seluruh bangsa Indonesia serta merupakan pedoman yang perlu diimplementasikan secara berlanjut dalam rangka membina kondisi kehidupan nasional yang ingin diwujudkan. Selain berfungsi sebagai landasan konsepsional strategis bangsa, yang didasari oleh Pancasila sebagai landasan idiil dan UUD 1945 sebagai landasan konstitusional, konsepsi ketahanan nasional juga berfungsi sebagai arah dan pedoman dalam pelaksanaan pembangunan nasional yang meliputi segenap bidang dan sektor pembangunan secara terpadu, termasuk sektor pangan, energy dan industri.
Sumber pangan dan energi telah dibuktikan sepanjang sejarah sebagai komoditas yang diperebutkan oleh bangsa-bangsa. Bangsa yang memiliki akses serta kekuasaan atas kedua hal tersebut memiliki modal dasar yang berharga dalam mengembangkan seluruh sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini didukung dengan fakta bahwa setiap negara memiliki daya dukung sumber daya alam yang berbeda-beda, sedangkan pangan dan energi merupakan dua komoditas yang sangat dibutuhkan oleh setiap rakyat.
Kondisi tersebut merupakan indikasi bahwa sektor pangan dan energi merupakan dua sektor yang memiliki posisi sangat strategis dalam konteks kehidupan antarnegara. Jika kembali pada konsepsi ketahanan nasional, dalam menghadapi dan mengatasi segala tantangan, ancaman, hambatan dan gangguan dari luar maupun dari dalam, salah satu pilar utama Ketahanan Nasional adalah kekuatan negara dalam sektor pangan dan energi tersebut.
Berdasarkan hal itu, maka kecukupan akan pangan dan energi belum apa-apa. Negara harus memiliki kedaulatan dalam sektor pangan dan energi. Kedaulatan yang dimaksud secara mendasar adalah kontrol penuh dalam mengelola sektor pangan dan energi serta kemandirian dalam memenuhi kebutuhan hidup rakyat. Pengembangan dari konsep kedaulatan tersebut adalah pengelolaan yang efektif dan efisien sehingga mampu menjelma menjadi keuntungan kompetitif sekaligus keuntungan komparatif bangsa dalam kaitan hubungan antarnegara. Diharapkan dengan adanya dua hal tersebut, kedaulatan pangan dan kedaulatan energi dapat menjadi modal dasar dalam pengembangan seluruh sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan demikian, martabat bangsa dapat berdiri sejajar dengan seluruh bangsa lain di dunia.
Sebagai ideologi negara, Pancasila cakupannya lebih luas daripada sebagai dasar filsafat negara. Dalam praktik kehidupan negara, Pancasila sebagai ideologi negara tidak hanya berbentuk hukum tetapi juga berbentuk norma-norma lain yang harus dijadikan pedoman bagi warga negara yang Pancasilais.
Ketahanan nasional yang berlandaskan ideologi Pancasila ini dapat diterjemahkan dalam visi dan misi pembangunan nasional. Visi dan misi tersebut dirumuskan ke dalam satu strategi pembangunan yang disebut dengan strategi pembangunan dorongan besar (big push development strategy). Strategi pembangunan dorongan besar ini dimaksudkan sebagai rangkaian strategi yang disusun dan diimplementasikan untuk menciptakan dorongan yang relatif besar bagi perekonomian nasional untuk mampu secara efektif tumbuh, maju bahkan terdepan (advancing) dari posisi atau pencapaian saat ini.
Ketahanan nasional Indonesia adalah kondisi dinamika bangsa Indonesia yang meliputi segenap aspek kehidupan nasional yang terintegrasi, berisi keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional dalam menghadapi dan mengatasi segala tantangan, ancaman, hambatan serta gangguan (TAHG) dari luar maupun dari dalam. Ketahanan nasional mutlak dijaga untuk menjamin identitas, integritas, kelangsungan hidup bangsa dan negara, serta perjuangan mencapai tujuan nasional.
Konsepsi ketahanan nasional merupakan suatu ajaran yang diharapkan dapat diyakini kebenarannya oleh seluruh bangsa Indonesia serta merupakan pedoman yang perlu diimplementasikan secara berlanjut dalam rangka membina kondisi kehidupan nasional yang ingin diwujudkan. Selain berfungsi sebagai landasan konsepsional strategis bangsa, yang didasari oleh Pancasila sebagai landasan idiil dan UUD 1945 sebagai landasan konstitusional, konsepsi ketahanan nasional juga berfungsi sebagai arah dan pedoman dalam pelaksanaan pembangunan nasional yang meliputi segenap bidang dan sektor pembangunan secara terpadu, termasuk sektor pangan, energy dan industri.

Sumber : http://www.kompasiana.com/malikbewok/bela-negara-penerapan-ideologi-pancasila-demi-terwujudnya-ketahanan-pertahanan-nasional_562da70ca423bde20be90114
Fadhyl Farhan Alghifari
155150207111146 (Pancasila-O)

Selasa, 13 Desember 2016

Komunikasi, Harga Kebhinekaan

Kebhinekaan Indonesia merupakan suatu kekayaan yang tidak ternilai harganya. Namun di balik kekayaan tersebut, tersimpan suatu bahaya, yang disebabkan oleh perbedaan latar belakang. Karena Indonesia terdiri dari begitu banyak suku, banyak pula tembok penghalang untuk memanfaatkan kebhinekaan yang ada menjadi suatu kekuatan, dan bukan pemecah, untuk dapat mencapai tujuan negara Indonesia. Untuk dapat menghilangkan tembok-tembok penghalang tersebut, perlu adanya suatu usaha komunikasi antar kelompok, yang pada dasarnya membutuhkan keberanian untuk dapat melewati batas-batas nyaman kelompok tersebut. Dengan komunikasi yang baik, dapat terbentuk kesatuan, yang mendukung

Sekitar tujuh tahun lalu, saya mendaftar ke klub basket di SMA saya. Saya sangat bersemangat waktu itu, selain karena saya memang menyukai olahraga basket, saya juga menemukan jagoan-jagoan basket di SMP-SMP yang saya temui ternyata juga memasuki tim basket. Kegembiraan saya ditambah dengan adanya jagoan-jagoan dari SMP lain yang berasal dari luar kota. Kami yang lolos seleksi itu, konon digadang-gadang menjadi angkatan emas, karena sejak 3 tahun sebelumnya, “Belum pernah muncul talenta-talenta sebagus dan sebanyak ini.”

—————————–

Selama setengah tahun, kami bersama mengikuti latihan bersama, dan selama setengah tahun itu kami berbagi kebahagiaan. Namun di akhir semester pertama, muncullah pernyataan yang mengejutkan dari salah seorang teman saya,” Tim ini memang bagus, tapi entah kenapa, aku tidak menikmati permainan bersama tim ini.” Seminggu kemudian, mundurlah dia. Dan sejak itu, teman-teman dekatnya di tim juga mundur, menyisakan kami. Dan entah kebetulan atau tidak, teman-teman dekatnya adalah mereka yang berasal dari SMP negeri, atau yang bukan Tionghoa. Dan kenaifan kami untuk tidak menyadari hal ini, ternyata malah menjadi bumerang bagi kami, karena sebenarnya kami secara tidak sadar sudah membuat pemisah.

Dulu, saya berpikir, bahwa kami memiliki begitu banyak perbedaan, sehingga sulit bersatu. Namun belakangan, muncul pemikiran sebaliknya, bahwa sebenarnya kami memiliki lebih banyak lagi kesamaan. Kami hanya berbeda suku saja, atau paling banter berbeda golongan, karena asal SMP kami berbeda. Saya tertegun menyadari, dua perbedaan kecil dan biasa saja ini sangat signifikan mempengaruhi cara kami berelasi. Saya kemudian menyadari, tantangan besar di balik kebhinekaan bangsa kita, yang terdiri dari 1128 suku bangsa[1], 6 agama yang diakui, beberapa ras dan banyak golongan. Betapa ‘Bhineka Tunggal Ika’ adalah motto yang sangat hebat menyadari hal ini, mengingat 2 kelompok orang yang berbeda suku saja bisa bertengkar hebat karena masalah sepele!

Kesatuan Bangsa

Slogan ‘Bhineka Tungggal Ika’ ini adalah perekat bangsa Indonesia, yang memang luar biasa kekayaan budayanya. Slogan ini mengajak untuk melihat, meskipun banyak perbedaan, ada kesatuan,yaitu sebagai bangsa Indonesia. Slogan ini muncul pada sayembara lambang negara pada 8 Februari 1950[2], bersamaan dengan logo Pancasila. Pancasila adalah dasar negara, dengan ‘Bhineka Tunggal Ika’, sebagai perekat bangsa, adalah bagian tidak terpisahkan.

Bangsa, menurut Ernest Renan adalah ” hasil dari masa lalu yang terdiri dari usaha-usaha, pengorbanan,dan keterikatan yang sungguh-sungguh… untuk bersama memiliki kejayaan di masa sebelumnya, dan semangat yang sama untuk memiliki kejayaan di masa sekarang; untuk melakukan hal-hal besar bersama dan ingin terus melakukannya. “[3]

Definisi tentang bangsa menurut Ernest Renan ini adalah definisi yang digunakan oleh Ir. Soekarno untuk menjelaskan ideologinya tentang bangsa[4]. Hal ini menunjukkan bahwa Bung Karno memiliki suatu cita-cita bahwa nantinya orang-orang yang tetap tinggal di Indonesia setelah merdeka “telah melakukan hal besar bersama dan ingin melakukannya lagi.” Beliau ingin semangat kemerdekaan Indonesia adalah semangat kebersamaan, meskipun berbeda-beda tapi tetap satu membangun bangsa Indonesia.

Hal ini tentu mensyaratkan bahwa sebelum seseorang membangun bangsa, dia harus disadarkan dulu bahwa bangsa yang dia bangun adalah bangsa yang majemuk, dengan berbagai perbedaan, namun berusaha bersama untuk mencapai satu tujuan yang besar. Tujuan ini tidak dapat tercapai tanpa realisasi dari ‘Bhineka Tunggal Ika’. Tanpa ‘Bhineka Tunggal Ika’, tanpa kesatuan Indonesia, tidak akan ada kekuatan untuk mencapai tujuan bersama tersebut.

Komunikasi

Namun alih-alih bersatu, di kacamata saya, rakyat Indonesia masih terpecah-pecah dan ketakutan menghadapi ke-Bhineka-an tersebut. Itu terbukti dengan masih seringnya terjadi perseteruan antar suku, antar agama di berbagai tempat. Beberapa waktu yang lalu bahkan terjadi perseteruan antara kelompok Islam Sunni dan Islam Syiah. Hal ini menunjukkan, masih tingginya tingkat kecurigaan antar sesama umat Muslim sendiri, dan saya yakin, lebih besar lagi jurang yang terjadi antar agama, yang mengakibatkan konflik di Poso. Dan, menurut pengalaman saya, tingkat kecurigaan yang tinggi adalah indikator dari kurangnya komunikasi. Karena, kurangnya komunikasi akan mengakibatkan prasangka, dan prasangka tanpa komunikasi akan menimbulkan stigma yang kuat, namun mungkin tidak benar terhadap objeknya. Perlu suatu usaha untuk membuka komunikasi dan membongkar tembok-tembok kebisuan masyarakat.

Saya sendiri menjadi saksi tidak adanya komunikasi tersebut, karena sejak dini pun bibit-bibit ketakutan dan kecurigaan sudah muncul, bahkan mungkin sudah ditanamkan. Pada saat saya kelas 6 SD, saya mengikuti sebuah lomba siswa teladan. Pada tingkat kecamatan, lomba tersebut diadakan di sebuah SDN dekat sekolah saya. Ketika itu saya berkenalan dengan beberapa orang, dan sayapun berbincang. Ketika mengetahui saya tidak bisa mengucapkan huruf R dengan baik, entah kenapa pandangan mereka berubah. Kemudian kami dipanggil ke ruangan untuk memulai ujian, dan kamipun menghentikan perbincangan kami. Pada saat istirahat, saya mengalami sakit perut. Saya pun ke WC. Tanpa saya duga, tiba-tiba dari jendela meluncur batu-batuan kecil. Saya pun berteriak,”Oi, ada orang di dalam.” Kemudian ada suara dari pintu WC, “Coba ngomong R dulu yang bener.”

Saya yakin tidak ada orang yang mengajarkan dia untuk berbuat demikian, namun hinaan sehari-hari terhadap orang Tionghoa, mungkin dilakukan oleh temannya, mungkin oleh orangtuanya, bahkan mungkin gurunya yang membuat dia berbuat demikian.

Pernah pula di suatu saat, saya menjadi relawan di Pengalengan, Jawa Barat. Pada waktu mendekati maghrib, saya iseng mendengarkan anak-anak kecil belajar mengaji. Saya terkejut sekali ketika di speaker maghrib sang pengajar mengatakan “..dan tidak akan pergi ke gereja.” Saya membayangkan, kalau mereka sudah besar, mungkin anak-anak kecil itu nanti akan takut sekedar berteduh di gereja saat hujan.

Mungkin, hal-hal kecil seperti inilah yang membuat orang-orang dewasa di Indonesia menjadi paranoid. Contohnya, pernah suatu ketika, saya mengobrol dengan seseorang di kereta api. Dia merekomendasikan sebuah buku karangan Nucholish Madjid. Saya sebenarnya tertarik, namun karena tadinya kami sedang membahas buku karangan penulis berkebangsaan Jepang, saya bertanya, ” Kenapa tiba-tiba Nurcholish Madjid, mas?” Orang ini tiba-tiba sedikit emosi sambil mengutarakan dia tidak sedang mencoba berdakwah.

Kecanggungan komunikasi, buat saya adalah penyebab ketiga hal diatas. Mungkin kalau si anak terbiasa bergaul dengan orang Tionghoa, tidak mungkin dia melempari batu hanya karena saya tidak bisa mengatakan huruf R. Mungkin, orang yang mengajar di kelas mengaji itu tidak menyadari bahwa pengajarannya berpotensi memicu keretakan bangsa karena di kampung tersebut semuanya Muslim, dan tidak menduga akan ada seorang Kristen mendengar. Mungkin orang di kereta api tersebut juga tidak terbiasa berbicara dengan orang Kristen sehingga takut dikira melakukan dakwah.

Fobia terhadap pluralisme

Akhirnya, masalah komunikasi ini menjadi suatu penghalang besar untuk mempersatukan bangsa Indonesia. Penolakan terhadap kebhinekaan dan slogan ‘Bhinneka Tunggal Ika’ ini mengakibatkan ekstrim sebaliknya dari kebhinekaan, yaitu dorongan untuk menjadikan segala sesuatu seragam dalam konteks yang terbatas, di ‘daerah kekuasaan’ orang/kelompok tersebut, bahkan dapat memicu megalomania. Contohnya, Hitler, yang hanya menerima keberadaan ras Arya sebagai ‘manusia super’, menganggap ras lain sebagai ‘manusia yang lebih rendah’ yang layak diperbudak dan dikuasai[5]. Tidak jauh dari kita, ikatan primordialisme kesukuan yang sangat kuat menimbulkan keengganan beberapa suku untuk bercampur/menikah dengan suku lain, dan bidang-bidang pekerjaan tertentu masih dikuasai oleh suku-suku tertentu. Tidak salah rasanya jika kita menyebut komunikasi antar golongan masih menjadi hambatan kita untuk dapat memahami arti ‘Bhinneka Tunggal Ika’, karena dengan komunikasi yang baik, tembok-tembok eksklusif kesukuan tersebut akan hilang dengan sendirinya.

Belajar dari sejarah

Dengan alasan apapun, hal-hal di atas menegaskan bahwa komunikasi adalah hal yang penting, dan kegagalan berkomunikasi telah memicu masalah-masalah besar, seperti permasalahan Sunni-Syiah, kerusuhan di Poso, yang telah berujung kepada kerugian baik moril, maupun materiil. Karena, komunikasi dalam hal-hal kecil berperan penting dalam pembentukan mentalitas ‘Bhinneka Tunggal Ika’. Hal kecil seperti perbedaan suku, agama, ras, dan golongan dapat diatasi dengan hal kecil pula, yaitu komunikasi. Belajar dari sejarah, melakukan hal kecil, seperti berbincang dengan orang yang berbeda suku, agama, ras atau golongan akan mencegah masalah yang lebih besar. Dan lebih utama, biarlah ‘Bhineka Tunggal Ika’ memampukan kita untuk bersama membangun bangsa Indonesia yang lebih baik. Merdeka!



[1] Dikutip dari http://www.jpnn.com/index.php?mib=berita.detail&id=57455, diakses pada 2 November 2012, 19.08

[2] Dikutip dari http://www.tempo.co/read/news/2010/01/27/063221646/Lambang-Garuda-Pancasila-Dirancang-Seorang-Sultan, diakses 4 September 2012 pukul 01.13

[3] diterjemahkan secara bebas dari “Ernest Renan”,karangan Richard M. Chadbourne , 1968, Ardent Media, halaman 101, diakses dari Google Books dengan link http://books.google.co.id/books?id=aRmcVxoIvMkC&printsec=frontcover&hl=id&source=gbs_ge_summary_r&cad=0#v=onepage&q&f=falsepada 3 November 2012 pukul 01.23

[4] http://filsufgaul.wordpress.com/2012/03/09/pengaruh-pemikiran-ernest-renan-terhadap-nasionalisme-soekarno/ diakses pada 3 November 2012 pukul 2.30

[5] http://econ161.berkeley.edu/tceh/Nietzsche.html diakses tanggal 3 November 2012 pada pukul 12.13



Timoti Agape Siahaan
155150201111399
Pancasila - O

Ayo Bersatu Lawan Terorisme!


Indonesia butuh kekuatan dan peran rakyatnya untuk memerangi terorisme. Apa itu terorisme?

Selasa, 06 Desember 2016

Paradoks Pancasila


Indonesia merupakan sebuah negara majemuk yang terdiri dari berbagai suku, ras, agama, budaya, adat istiadat, dan kemajemukan lainnya. Dikarenakan kemajemukan itulah, bangsa Indonesia memerlukan sebuah pandangan hidup agar bisa menjadi pemersatu bangsa.

Pancasila merupakan pandangan hidup bangsa Indonesia yang dirumuskan oleh Ir.Soekarno dan Muhammad Yamin yang dimulai pada tahun 1945. Dimulai tahun 1945 kedua orang ini mempersoalkan filosofi negara, pandangan hidup, ideologi, yang akan dibentuk. Pada waktu itu rumusannya cukup sederhana, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, nasionalisme, internasionalisme, demokrasi, dan sosialisme. Bahkan kedudukan Ketuhanan ditaruh dalam sila ke lima, bukan pertama. Pada akhirnya Pancasila hadir dan lahir dengan konsep yang sedimikan rupa, yang dijadikan dasar negara dan harus dilaksanakan dalam berkebangsaan dan bernegara di Indonesia.

Pancasila merupakan konsep paradoks positif, bukan paradoks sebagai sebuah negasi. Akan tetapi, Konsep Pancasila sekarang adalah konsep yang menilai paradoks sebagai sebuah negasi yang membuat Pancasila hanyalah sebagai hiasan bibir belaka.

Pancasila merupakan sebuah entitas satu kesatuan yang utuh dan tidak bisa dipisahkan sila-silanya dalam menafsirkan. Tidak bisa hanya menafsirkan satu sila tanpa menghubungkannya dengan sila yang lainnya. Jika hanya menafsirkan hanya satu sila tanpa memperhatikan yang lain maka nilai dan konsep yang telah dituangkan dalam Pancasila akan mengalami perubahan arti. Paradoks Pancasila dari masa ke masa ini lah yang menjadi persoalan sekarang ini.

Banyak orang sekarang mengartikan sebuah sila Ketuhanan Yang Maha Esa adalah sebuah agama tertentu. Padahal jika kita berfikir lagi dengan hati yang tenang dan pikiran yang tenang tanpa terhasut oleh politik, pendapat yang dasarnya pun belum jelas meskipun belum tentu juga salah,  kita tidak akan mengatasnamakan sila pertama itu untuk agama anutan kita dan menjadikan senjata untuk menyerang agama lain.  Hal pandangan semacam ini bukan lah terjadi sekarang saja. Hal ini terjadi dari masa ke masa, dari masa orde lama, orde baru, bahkan sekarang masa reformasi pun masih terjadi, tentunya dari masa ke masa paradoks Pancasila selalu berbeda. 


Pada masa orde lama, pergeseran dan pertentangan terhadap Pancasila banyak sekali terjadi. Pada orde baru , Pancasila menguat dengan sistem yang diterapkan oleh Presiden Soeharto. Tetapi banyak yang tidak memahami bahwa sistem yang diterapkan tersebut digunakan Soeharto untuk melenggangkan kekuasaanya. Pada era reformasi seperti sekarang ini, Pancasila seharusnya menjadi alat pemersatu bangsa dan menjadikannya sebuah ideologi yang tertanam dalam hati dan jiwa setiap masyarakat bangsa Indonesia. Tetapi kenyataannya, pada jaman sekarang, Pancasila malah dijadikan sebuah hiasan bibir belaka, hanya terucap sebagai kalimat tanpa menjalankan maknanya. Menjalankan maknanya saja tidak dilakukan, berarti malah arti, definisi, nilai-nilainya, masih banyak yang belum paham secara utuh. Seakan-akan kita mempunyai idelogi yang sudah mencerminkan cita-cita bangsa tetepi kita masih tergiur akan ideologi-ideologi lain yang itu sudah jelas bertolak belakang dengan ciri dan cita-cita bangsa Indonesia.

Sudah banyak komentar-komentar tentang paradoks Pancasila dari masa ke masa.a Tetapi itu bukan persoalan, yang menjadi persoalan adalah , apa yang harus kita lakukan sekarang? Ya. Tentunya kita harus memikirkan bersama langkah yang tapat untuk hal ini. Bagaimana cara yang tepat untuk menanamkan Pancasila yang sesungguhnya didalam jiwa setiap masyarakat bangsa Indonesia agar tak hanya menjadi hiasan di dinding rumah saja dengan berjajarkan foto pemerintah negara. Apa yang salah sebenarnya ? Mungkin hal ini bukan sepenuhnya adalah kesalahan masyarakat. Mungkin karena trauma masyarakat tentang penerapan Pancasila yang berlaku pada era-era sebelumnya yang membuat masyarakat jadi enggan menerapkan karena takut kembali lagi terjadi hal-hal tak diinginkan seperti di era-era sebelumnya. Menurut pemikiran saya, alangkah baiknya jika kita mengesampingkan ego masing-masing dan mulai berfikir terbuka terhadap masalah yang ada. Sedikit saja mulai berfikir tentang kelangsungan hidup bangsa Indonesia. Kesampingkan kepentingan-kepentingan individual, kelompok tertentu, eksklusivisme, atau apalah yang membuat untuk sebagian kecil kelompok. Kita pahami apa maksud dari dipersatukan bangsa Indonesia ini, apa tujuan dibuat Pancasila oleh Ir.Soekarna dan Muhammad Yamin.


referensi : https://vgsiahaya.wordpress.com/artikel/paradoks-pancasila/

Ditulis oleh :
Galih Bhaktiar Candra
155150207111182

Senin, 05 Desember 2016

Mengapa di Universitas Tidak Ada Upacara Bendera Hari Senin?


Setiap hari Senin pagi sebelum kegiatan belajar mengajar dimulai, setiap sekolah dari jenjang SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK dan sederajat diwajibkan mengadakan upacara bendera hari Senin.
Upacara bendera setiap hari Senin di sekolah bertujuan untuk melatih kedisiplinan siswa serta memupuk rasa cinta tanah air dan bangsa ataupun menumbuhkan semangat jiwa nasionalisme.
Dalam upacara bendera sederet acara di gelar yang semuanya bermuara pada kedisiplinan dan jiwa nasionalisme. Mulai dari anak-anak dibariskan dengan sangat rapi, sampai pembubaran barisan setelah selesai upacara bendera.
Upacara bendera juga mengajak kita untuk berjiwa nasionalis. Berdiri dan menghormat kepada bendera sang saka merah putih dengan diiringi lagu Indonesia Raya. Bila kita mampu berdisiplin, maka pada saat pengibaran bendera itu, hati kita akan bergetar sekaligus bangga karena sang merah putih berkibar dengan gagahnya. Di sanalah terlihat bahwa kita adalah bangsa yang telah merdeka dan berdaulat. Merdeka karena jasa para pahlawan kita yang gagah berani mengusir penjajah dari bumi Indonesia.
Upacara bendera juga mengajarkan pada kita untuk mengenang jasa para pahlawan, mendoakannya, dan menyanyikan lagu-lagu nasional yang membuat peserta didik tahu sejarah bangsa Indonesia dan menanamkan jiwa patriotisme di kalangan anak muda.
Namun, rutinitas upacara bendera hari Senin berhenti semenjak kita masuk ke jenjang Universitas, begitu juga bagi pegawai dan masyarakat umum. Lalu timbulah pertanyaan dalam diri saya yang saat ini berada di jenjang Universitas, “mengapa di Universitas tidak ada upacara bendera hari Senin?”. Ada yang menjawab “di Universitas jam masuk kuliahnya tidak serempak, jadi cukup sulit untuk diadakannya upacara bendera”.
Lantas jika dikaitkan dengan nasionalisme, dapatkah upacara bendera meningkatkan nasionalisme bangsa? Pro atau kontra?
Jika pro mengatakan sebuah keharusan Karena upacara kita bisa mengenang jasa para pahlawan kita. Dengan upacara kita bisa menghormati jerih payah bangsa dalam memperjuangkan Indonesia. Jika kontra mengatakan untuk apa diadakannya upacara bendera? Itu hanya suatu kebudayaan dari Indonesia yang sudah terlanjur dijadikan keharusan. Bukti nyata ketika kita mengadakan upacara adalah hanya sebagai ajang kumpul-kumpul. Barisan depan hikmat tapi separuh kebelakang mengobrol seperti layaknya di mall. Tanpa upacara pun kita bisa meningkatkan nasionalisme kita.
Lalu bagaimana dengan pendapat saya yang dalam kurun waktu 2 tahun kebelakang sama sekali tidak melakukan upacara bendera?

Saya setuju dengan kontra. Menghargai perjuangan bangsa dalam memperebutkan bangsa ini bisa dihargai lebih dari sekedar upacara yang bersifat budaya. Mengingat nama mereka yang berjasa dalam negri ini saja itu sudah saya namakan nasionalisme kita terhadap bangsa. Mencintai lagu milik Indonesia daripada lagu Barat dan mempertahankan lagu daerah agar tidak direbut oleh bangsa lain itu juga nasionalisme.

Referensi:
http://www.edukasippkn.com/2016/07/tujuan-upacara-bendera-di-sekolah.html

Ditulis oleh:
Arifin Kurniawan
155150201111403